Suatu Hari

(images from: www.eshphotography.com.au)


Dear, Ahmad.

Saya tidak akan pernah bisa melupakanmu. Tidak bahkan dalam tidur-tidur saya yang lelap. Tidak juga dalam lamunan-lamunan saya yang tidak pernah kosong. Meski saya ingin, saya tidak bisa. Lebih tepatnya, tidak kuasa melakukannya. Entah kamu yang terlalu pandai memasuki hati saya, atau saya yang terlalu bodoh sampai jatuh terlalu dalam untukmu, saya tidak mengerti. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, saya menikmatinya.

Kamu ingat, malam itu saat pertama kalinya saya mengirimkan SMS padamu. Now when I think about it, selalu saja saya yang memulai segalanya. Bukan kamu. Kamu seperti medan magnet bagi saya, Ahmad. Dan saya adalah logam yang tidak peduli mau lari sejauh apa, pasti selalu tertarik ke aramu.


Desember, 2012

Aku harus melakukan sesuatu.

Dua minggu yang lalu, bertepatan satu pekan sebelum Ujian Akhir Semester dilaksanakan, guru PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) kami memberi tugas yang bernilai sosial sangat tinggi tapi sangat merepotkan juga. Mewawancarai seorang anak jalanan. Selesai wanita tiga puluhan tahun itu bicara, kelas kami langsung heboh. Menyuarakan keberatan dengan lantang. Masalahnya, kurang dari sepekan setelahnya, kami harus dibombardir dengan berbagai jenis soal UAS. Jelas tidak akan memiliki waktu mengurusi tugas merepotkan ini.

“Gak bisa, Bu. Nggak akan sempet. Minggu depan kan, udah mulai UAS,” Vero, cowok gempal yang duduk di pojokan kelas angkat bicara.

“Kayak lo bakal belajar aja, Tet,” komentar teman sebangkunya, Andri.

Aku terkekeh, berpikiran hal yang sama dengan Andri.

Guru kami mengetuk meja dengan ujung spidol, membuat sekretaris kelas, Valen, meringis pelan. Takut inventaris kelas kesayanannya itu mendadak rusak. Ya, paling hanya sulit dibuka tutupnya saja.

“Sudah, ya. Tidak ada bantahan. Setiap tahun juga, saya ngasih tugas ini tidak pernah ada masalah. Jadi kerjakan saja dan kumpulkan laporannya ke saya setelah UAS.”

Entah kami yang sedang apes atau memang dia yang tidak kreatif memberi tugas yang sama dari tahun ke tahun, aku tidak tahu.

Jadi, kurasa sumber kegalauanku sekarang sudah jelas penyebabnya. Tugas menyebalkan sang guru dan teman-teman yang tidak kooperatif dan sulit dihubungi. Padahal deadline pengumpulan tugas tinggal empat hari lagi. Sebagai orang yang tidak pernah terlambat mengumpulkan tugas, tentu saja aku ketar-ketir sendiri.

[ Incoming Call from Valen ]

“Halo?” sapaku, mengangkat telepon bahkan sebelum dering kedua.

“Ngapain neleponin gue mulu? Nggak tau apa tadi lagi ibadah?” suara di seberang terdengar keki.

Aku melirik jam yang tergantung di dinding kamar. Jam sebelas siang. Pantas saja, pikirku. Ini hari Minggu, jadi Valen pasti sedang menghadiri ibadah di gereja dekat rumahnya.

“Sori, oke? Gue butuh bantuan banget,” ujarku, tidak benar-benar meminta maaf. “Lo inget tugas wawancara dari Bu Erna?”

Aku tidak benar-benar bisa melihat Valen sekarang, tapi aku yakin ia mengangguk. “Iya, kenapa?”

“Jadi harusnya lo tahu kalau deadlinenya itu empat hari lagi, kan? Hari kamis?”

Valen terkesiap. “Anjir! Iya, bener! Wah, parah. Lo kenapa baru inget, sih!?

Aku memutar bola mata. “Jadi? Lo bisa bantu hubungin anak-anak yang lain? Teressa, Andri, Rega, Luki, Farah sama Dion?”

“Bisa, deh. Gue bisa nge-whatsapp Teressa, Luki sama Farah. Nanti biar Farah kasih tau Dion. Lo SMS Andri sama Rega, ya?”

Aku menghela nafas. “Gue gak ada nomor Rega.”

“Bisa tanya sama Andri. Atau suruh Andri SMS. Atau lo tanya ke Okky aja. Dia, kan, Ketua Kelas. Pasti tau.”

What the heck!?

Baru akan menyanggah, Valen memotong lagi. “Ayolah. Gue kan SMS tiga orang sekaligus. Fifty-fifty, oke?”

“Ya, ya. Udah, ya. Janjian di Pasar X jam dua. Jangan ngaret!”

Valen menutup sambungan telepon secara sepihak setelah mendengar perkataanku. Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung mengirimkan pesan pada Andri dan Okky dengan isi yang berbeda.

[ Messages from Okky_IPA2 ]

Nih nomornya Rega. 0878xxxxxxxx

[ Messages to Okky_IPA2 ]

Makasih ky!

Tergesa-gesa, karena takut membuang waktu, aku langsung mengetik cepat mengirim pesan pada Rega. Cowok itu kadang sering sulit dihubungi. Wajar saja kalau aku cemas. Aku tidak mungkin mengerjakan tugas berdua Valen saja, kan?

[ Messages to Rega_IPA2 ]

Assalamualaikum. Ini rega bukan?

[ Messages from Rega_IPA2 ]

iy. bener. knp?

Singkat banget jawabannya, pikirku.

[ Messages to Rega_IPA2 ]

Ini gue, maulia. Kita mau ngerjain tugas wawancara bu erna. Kumpul di pasar X jam dua bisa ga?

[ Messages from Rega_IPA2 ]

Pake baju apa

[ Messages to Rega_IPA2 ]

Bikini

[ Messages from Rega_IPA2 ]

Oke

[ Messages to Rega_IPA2 ]

Eh, bukan! pake baju biasa.

[ Messages from Rega_IPA2 ]

ya lo pikir gw bakal beneran pake bikini?


Saya heran kenapa hal-hal kecil dan ingatan tidak penting itu tetap terpatri jelas di kepala saya bahkan setelah nyaris empat tahun berlalu. Setelah itu, saya mengirimi kamu SMS dengan isi yang kelewat singkat, padat dan jelas. Tapi kamu bertanya lagi. Hal-hal tidak penting seperti ‘pakai baju apa’, ‘kesana naik apa’, ‘janjian dimananya’, dan sebagainya.

Tapi saya senang. Sebenarnya, semua yang kamu lakukan selalu membuat saya senang. Entah itu datang terlambat ke kelas dan langsung tertidur di mejamu. Atau tertawa sendiri menonton anime di ponselmu. Atau menghabiskan waktu taruhan main flappy bird dengan Revan. Kamu dan semua perilakumu selalu membuat saya senang bahkan ketika saya hanya bisa melihat saja.


“Ga, gue minta minum, ya.”

Rega menoleh ke arahku. Sejenak melupakan apapun itu yang ia lihat di layar ponselnya. “Beli sendiri, dong.”

Aku cemberut.

“Gue gak bawa duit,” pungkasku, melipat kedua lengan di dada. “Sedikit doang, kok. Serius.”

Ia mengangkat kedua bahu sebelum kembali memandang layar ponselnya. Kuanggap itu sebagai jawaban iya, jadi kusedot saja jus alpukat yang baru saja ia beli. Kalau saja aku tak begitu ceroboh dengan meninggalkan dompet di rumah, aku tak perlu meminta pada Rega dengan wajah pernuh permohonan seperti itu.

Beberapa menit berlalu. Tasya sudah dua kali menangis mendengar keterangan anak kecil yang kami wawancarai. Seorang penjual plastik dengan dua orang adik dan orangtua yang kerja serabutan. Aku tidak menangis. Terharu, memang. Tapi ada banyak sekali orang dengan kesulitan yang sama yang kehilangan perhatian. Anak kecil di hadapan kami semua adalah salah satu contohnya.

“Ini yang ngabisin jus gue siapa, sih!?” suara berat Rega memecahkan hening yang agak mencekik di antara kami. “Gue baru minum satu sedot, anjir.”

Aku terkekeh pelan. Berusaha menyembunyikan ringisan bersalah di antara cengiran. “Sori, ya, Ga. Gue aus banget.”

“Bayar,” Rega berkata singkat.

“Gue gak bawa duit…”

“Bodo amat. Bayar.”

“Amal. Anggap aja amal.”

“Bayar.”

Aku menghela nafas. “Yaudah, berapa? Gue ngutang dulu aja.”

“Dua milyar.”

Rega tertawa kecil, tanda kalau ia tak serius dengan perkataannya barusan. Sementara aku malah terbengong-bengong. Bingung harus bereaksi seperti apa.

“Sialan.”


Sampai sekarang, Ahmad. Bayangan tentang kamu masih sering sekali mampir di kepala saya. Mengingatkan saya pada betapa saya sangat mencintai kamu dahulu. Saat saya begitu naif memandang cinta. Saat saya begitu bodoh terus memperjuangkan kamu dalam dua tahun yang panjang. Yang pada akhirnya tak bertahan selamanya seperti yang saya harapkan. Saya tidak pernah lupa.

Mencintai kamu butuh banyak sekali kesabaran, Ahmad. Tidak semudah menulis cerita ini. Tidak segampang membacanya juga. Membaca hati kamu yang abu-abu sungguh menyulitkan saya. Apalagi, dengan banyak sekali perempuan di sekitar kamu yang bisa saja sudah mencuri hatimu sejak lama. Saya tak pernah berani bayangkan kemungkinan itu. Saya tidak bisa.


“Ini payung siapa, woy!?” Rega berteriak. Tak terlalu kencang tapi cukup membuat beberapa turis melirik padanya dengan tatapan aneh. Tapi bukan Rega namanya kalau ia sempat mempedulikan tatapan orang lain. Sang objek malah sibuk mengacungkan sebuah payung berwarna shocking pink tinggi-tinggi.

Payungku.

Seharusnya aku menghampirinya, mengatakan bahwa itu payungku dan menawarinya berjalan menuruni bukit bersama sambil berbagi payung. Selazimnya teman sekelas, aku sudah seharusnya melakukan itu. Tapi sayang sekali, berada dalam radius dua meter di dekat Rega saja cukup membuatku salah tingkah.

“Payung gue, tuh! Siniin!” aku meruntuk nada ketus yang kukeluarkan.

Rega tampak tak senang. Terbukti dari wajah heran bercampur kesalnya. Ia menyodorkan payungku sambil menimpali ketus: “Biasa aja, kali.”

Aku tahu peristiwa itu akan kusesali seumur hidup. Apalagi, saat Rega akhirnya memutuskan menuruni bukit sambil berbagi payung dengan Prita. Orang yang–aku tahu–pernah punya ketertarikan khusus pada Rega.

Aku menghela nafas.


Perjuangan saya, mungkin tidak terlihat. Karena pada dasarnya saya berjuang melawan rasa sayang yang begitu besar. Untuk kamu. Saya bertahan melawan sakit yang saya buat sendiri saat melihat perempuan lain menyentuh kamu, bicara denganmu, saat saya hanya bisa melihat kamu dari kejauhan. Tak berani menyapa, bahkan bercengkrama lebih jauh.

Pada akhirnya saya menyerah pada kebertahanan yang sudah saya tahan lama. Pada akhirnya saya memutuskan untuk membiarkan kamu tahu, alih-alih menyembunyiknnya selama bertahun ke depan. Saya menolak menerima perasaan menyesal karena kamu tak bisa tahu bagaimana saya memandang kamu selama hari-hari kebersamaan kita terajut. Saya ingin kamu mengerti, bahwa perasaan saya adalah rasa yang tenggelam dalam percakapan-percakapan singkat kita di dunia maya, pandangan mata kamu, senyuman kecil dan wangi tubuhmu yang samar-samar saya cium dari jok belakang. Saya ingin kamu tahu, arti dirimu dalam hidup saya yang tak berharga.


Entah sudah berapa kali aku melemparkan remasan kertas ke tong sampah plastik di ujung kamar. Cukup banyak untuk memenuhi setengah benda berwarna hijau itu. Rata-rata, semuanya berhenti di kata pertama. Dan karena pada dasarnya aku tak menyukai coretan, aku memilih mengganti kertas berisi kata salah itu ketimbang meneruskan menulis.

“Gue pasti udah gila,” gumamku, meremas rambut di sisi kanan kepala.

“Emangnya lo rela? Bertahun-tahun dari sekarang, lo bakal mikir: apa cinta pertama lo pas SMA kelewat gitu aja cuma karena lo ga berani bilang?”

Perkataan Valen terngiang kembali di kepalaku. Sedikit mengutip perkataan Cindy di film besutan Raditya Dika: Marmut Merah Jambu. Film yang tempo hari kami tonton di bioskop. ‘Kami’ yang kusebutkan disini termasuk juga Rega. Dan kebetulan sialan yang tidak kusengaja membuatku harus berada di kursi bioskop tepat di sampingnya.

Aku tidak ingin menyesal di kemudian hari karena membiarkan perasaanku pada Rega dibiarkan tak terkatakan. Dipendam, dibiarkan menghilang bersamaan dengan berjalannya waktu. Dikubur dalam-dalam karena aku terlalu pengecut untuk mengungkapkannya. Aku tidak ingin menyesal menemukan fakta (meski kemungkinannya sangat sangat kecil) kalau Rega memiliki perasaan yang sama. Kalau kebersamaan kami pernah mencapai titik kemungkinan yang tinggi.

Aku hanya tak ingin melewatkan kesempatan. Dan lewat surat cinta yang susah payah kutulis ini, dengan kalimat paling payah yang otakku bisa pikirkan, aku ingin Rega tahu. Bahwa ia sudah berdiam dalam hatiku cukup lama. Bahwa caranya membuatku jatuh cinta sangat sangat sederhana. Bahwa selama dua tahun ini ada gadis yang tetap bersitahan terhadap rasa cinta yang apa adanya.

Graduation ceremony

“Titipin ke gue aja. Nanti gue kasih Rega,” kata Valen di tengah suara penyambutan kepala sekolah. Aku menggeleng. Sebenarnya, aku sudah berniat membakar surat itu sesampainya di rumah nanti.

“Tanggung banget, sih. Lo udah bikin surat. Tinggal kasih aja!” nada Valen meninggi. Tanda kalau ia mulai gemas.

“Malu, Val,” jawabku, menghela nafas panjang.

“Lo emangnya gak takut apa kalo suatu hari nanti–”

“Gue nyesel karena nggak biarin Rega tau? Gue udah mikirin ini dan kedengerannya surat cinta itu bodoh banget.”

At least, minimal Rega tahu kalau lo sayang sama dia buat waktu yang lama. Dan sekalipun dia gak bisa ngebalas perasaan lo, lo gak akan ketemu dia lagi untuk waktu yang sama. Setidaknya, cukup lama buat lupain dia.”

Aku menghela nafas. Berpikir selama beberapa menit sebelum akhirnya menyerahkan selipat kertas ke tangan Valen.


Awal dari hubungan kita sangat lucu, Ahmad. Dan membuat saya lagi-lagi berpikir kenapa harus saya yang memulai semuanya. Percakapan pertama, gerakan pertama, sampai orang yang pertama kali menyampaikan rasa. Selalu saya. Tapi kamu tidak perlu merasa bersalah karena saya tak sedikitpun merasa menyesalinya. Bagi saya, harga untuk mencintai kamu sangat mahal dan kamu layak mendapatkannya.

Kamu ingat hari itu? Jam empat, kamu mengirimi saya pesan singkat. Sangat singkat tapi cukup membuat saya menahan nafas selama beberapa detik setelah membaca. Membuat saya mengutuk diri saya sendiri setelah dengan beraninya berkata saya mencintai kamu untuk waktu yang lama. Waktu itu, kamu berkata: Mau gue balas gak suratnya? dalam pesan singkat yang kamu kirimkan pada saya. Kalau boleh jujur, Ahmad, saya ingin sekali mengubur diri saya sendiri saat itu.

Pada akhirnya kamu ada dalam genggaman tangan saya yang lemah dan nyaris terlepas. Menguatkan jari-jari saya. Membuat saya percaya bahwa saya bisa menggenggam kamu erat-erat semau saya mengingat kamu sudah menjadi milik saya.

Tapi hubungan kita rupanya harus berhenti karena seratus tiga puluh lima kilometer yang membentang di antara kita membuat kamu tak lagi menganggap saya cukup berharga untuk dipertahankan. Saya tak bisa berhenti menangis malam itu. Menangisi kenapa saya tak cukup sabar menghadapi kamu. Kenapa saya tak mencoba mempertahankan hubungan kita. Kenapa jarak seratus tiga puluh lima kilometer itu bisa mengalahkan penantian saya selama bertahun sebelumnya?


Sudah entah-ke-berapa kalinya Rega menghilang. Tak ada berita, tak ada kabar bahkan tak lagi ada ucapan selamat pagi seperti yang biasa ia tuliskan dalam pesan singkat di antara kami. Aku terus menunggu, di tengah kesibukan yang mulai terasa mencekik. Di antara tumpukan tugas dan jadwal pertemuan mahasiswa yang mulai tak terkendali. Tapi Rega tak juga memberi kabar. Ia bahkan menolak menelepon atau ditelepon karena alasan tak jelas yang tak kumengerti.

Kesal, jelas. Aku bukan tak percaya padanya. Rega memang terlalu malas selingkuh, dan aku tahu ia tak berbohong. Tapi jarak kami tak lagi sedekat dulu. Aku tak bisa lagi bertemu dengannya kapanpun aku ingin dan itu sangat mengganggu. Tanpa kusadari, ia mulai melebarkan jarak, membiarkan kami jauh secara tak kasat mata dan saat aku mulai peka, Rega tak lagi bisa kujangkau.

[ Messages to Ahmad ]

Mau gini terus sampai kapan, Ga? Aku capek

[ Messages from Ahmad ]

Gini gimana?

[ Messages to Ahmad ]

Ya kamu hilang. Nggak ngabarin aku berhari-hari. Tiap aku tanya selalu aja ngalihin topik, atau marah. Ditelepon gak mau. Aku nggak ngerti.

[ Messages from Ahmad ]

Terus kamu maunya gimana?

[ Messages to Ahmad ]

Aku sayang sama kamu. Tapi sayangku nggak bisa dijadikan alasan buat kamu kayak gini ke aku.

[ Messages from Ahmad ]

Kita udahan aja, ya? Gak enak aku giniin kamu terus.

[ Messages to Ahmad ]

Jadi gitu, mau kamu?

[ Messages from Ahmad ]

Iya. Kalau kamu?

[ Messages to Ahmad ]

Aku nggak mungkin nyuruh kamu tetap stay sementara kamu mau pergi, kan? Makasih buat semuanya, Rega. 🙂


Saya bisa mengawali semuanya, Ahmad. Saya bisa mengawali percakapan pertama kita tentang jam janjian wawancara kelompok. Saya bisa mengawali interaksi antara kamu dan saya setiap saya ingin–dan gatal rasanya–bicara padamu meski lewat deretan huruf. Saya bisa mengawali jadi orang yang pertama kali membuka diri. Membiarkan kamu menilik ke dalam novel buatan saya yang secara tak kamu sadari, berisi ungkapan cinta saya kepadamu yang tak bisa saya katakan secara verbal. Saya bisa mengawali semuanya kecuali satu hal.

Meninggalkan kamu.

Jadi kenapa ketika kamu pada akhirnya mengawali sesuatu bersama saya, kamu justru jadi orang yang pertama kali menyerah? Jadi orang yang pertama kali pergi? Saya tidak mengerti.

Sampai sekarang, Ahmad. Sampai detik ini saya masih ingin tahu apa arti saya di matamu. Apa arti diri saya saat itu, empat belas Mei dua ribu empat belas. Saat kamu membaca surat cinta berisi kalimat payah yang setengah mati saya rangkai. Saat kamu akhirnya memutuskan menelepon saya dan meminta saya jadi pacarmu. Saya ingin tahu.

Saya ingin tahu apa arti saya untuk kamu saat kamu bawakan saya sekotak penuh puding coklat buatan sendiri. Saat kamu rela hujan-hujanan mengantar saya pulang dari tempat les. Saat kamu menggenggam tangan saya atau saat kepala kamu menyandar pada bahu saya di dalam bioskop. Saya ingin tahu arti dari semua perlakuan manis yang kamu lakukan pada saya, Ahmad. Sedikit saja, saya ingin berpikir bahwa kamu membutuhkan saya.

Kisah saya dan kamu adalah sebuah memoar menyakitkan yang seringkali saya buka-buka. Hanya untuk melihat betapa naifnya saya saat jatuh cinta padamu. Sekedar mengingatkan diri saya bahwa saya pernah begitu jatuh untuk seorang laki-laki seperti kamu. Yang meskipun sudah memecahkan hati saya menjadi serpihan kecil, tetap menjadi laki-laki paling manis yang pernah singgah di hati saya. Cinta pertama saya.

Semoga kamu bahagia selalu.

 

Salam sayang,

Maulia Syarif.

Leave a comment